Tampilkan postingan dengan label Al-Qisah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Al-Qisah. Tampilkan semua postingan

Jumat, 06 Maret 2015

Malam Pertama Di Alam Kubur III





Dikisahkan, seseorang yang dikenal sebagai pria shaleh, sedang dalam kondisi sakaratul maut karena digigit ular berbisa. Waktu itu ia sedang dalam sebuah perjalanan, dan lupa meninggalkan pesan kepada keluarganya. Dalam detik-detik terkhir menuju perpindahannya ke alam baka itulah ia merajut sebuah syair;

Cahaya berkilau memancar,
Saat aku ditinggal paksa.
Disebabkan ular jahat yang menipu.
Mereka berkata, "Jangan menjauh", padahal tak ada tempat selain lahat ini.
Mereka bertkata, "Mengapa begitu cepat aku meninggalkan anak-anakku".
Mengapa aku pergi, padahal belum sempat meminta ijin kepada orangtuaku.
Beginikah akhir sebuah kehidupan? Beginikah caraku pergi meninggalkan dunia?
Beginikah caraku meninggalkan semua harta dan kedudukanku dalam waktu yang singkat?

Ia menceritakan dirinya,

Para sahabat dan orang yang menguburku meberkata, "Janagan menjauh". Maksudnya, jangan menjauh dari Allah.
Bagaimana aku bisa lari, padahal hanya lahat ini ruang yang tersisa bagiku.
Tak ada sesuatu yang lebih ngeri daripada tempat kembali yang satu ini.
Tak ada ruang yang lebih gulita daripada kubur ini.
Apakah semua orang mampu membayangkan semua ini? 

To be continue....Malam pertama di alam kubur IV


readmore »»  

Kamis, 05 Maret 2015

Malam Pertama Di Alam Kubur II


malam pertama  dalam kubur....

Para ahli tarikh islam menyebutkan sebuah kisah. Al-Hasan bin Al-Hasan - salah satu cucu Ali bin Abi Thalib r.a wafat. Ia meninggalkan istri dan anak-anaknya dalam usia relatif muda, begitulah kematian. Tak pernah memilah: tua atau muda, kaya atau miskin. Tak pernah peduli terhadap raja atau budak, atau penguasa sebuah negeri. Kematian melenyapkan  kemegahan. Ia datang untuk mengeluarkan manusia dari rotasi kehidupan yang selama ini dijalani. Mengneluarkan seseorang dari istananya, untuk kemudian membenamkannya dalam sempitnya liangn lahat. Semua itu dilakukan tanpa meminta ijin terlebih dahulu.

Kematian Al-Hasan begitu cepat dan tiba-tiba. Ia pun dimasukkan ke liang kubur, sementara sang istri seolah tak kuasa menanggung kesedihan. Kesedihan yang amat dalam, yang tidak diketahui seorangpun selain Allah. Kesedihan itu pula lah yang membuat ia dan anak-anaknya mendirikan tenda di sekitar kuburan Al-Hasan. (perbuatan ini sama sekali tidak disyari'atkan dalam Islam. Seandainya para ahli tarikh tidak menyebutnya, niscaya tidak saya cantumkan dalam buku ini.

Ditenda yang didirikan disamping makam suaminya, ia berjanji, bersama anak-anaknya, akan menangis selama setahun penuh. Sungguh kepedihan mendalam dan duka yang tiada terkira.

Begitulah selama setahun penuh ia menangis terus. Ketika telah genap satu tahun,Ia mencabut pasak-pasak tenda yang didirikannya dan membawa pulang anak-anaknya pada suatu malam.

Dalam kepekatan malam yang gulita, ia mendengar seorang berbisik kepada temannya, "Apakah mereka mendapakan sesuatu yang hilang dari mereka?Apakah mereka mendapakan sesuatu yang hilang dari mereka?" Lalu terdengar suara lain menjawab, "Tidak! Bahkan mereka pulang dalam keputusasaan."

Ya, mereka tidak menemukan seseorang yang telah meninggalkan mereka. Tidak menemuak barang yang hilang, tidak pula menemukan barang yang ditinggalkan untuk mereka. Mereka pulang dalam keputusasaan.

Al-Hasan tak pernah keluar dari kubur untuk berbicara kepaad istri dan anak-anaknya. Tak pernah menemui mereka barang satu malam pun.

Inilah malam pertama, yang akan diikuti oleh malam-malam berikutnya. (kisah ini diambil dr buku "Malam pertama di alam kubur - Dr. A'idh Al-Qarni, M.A.)

readmore »»  

Rabu, 04 Maret 2015

Malam Pertama Di Alam Kubur I


Kutinggalkan tempat tidurku pada suatu hari, kemudian ku tersekap diam membisu, 

Kubur adalah malam pertama,
Demi Allah, katakanlah apa yang terjadi dengan dua malam, yang Allah pasti mentakdirkannya pada setiap hamba?

Malam pertama ia masih berada di rumah. Bersama anak dan keluarga lainnyadalam keadaan bahagia penuh keceriaan. Hidup dalam kesenangan dan kekesehatan terjamin. Tertawa melihat tingkah pola anak-anaknya yang lucu, demikian pula ia ditertawakan oleh anak-anaknya.

Lalu tiba-tiba ia disergap oleh malam kedua. Malam saat ia dijemput oleh kematian, untuk kemudian dikubur dalam lahat.
Malam kedua itu adalah malam pertama ia berada di alam kubur. 
Seorang penyair Arab pernah melantunkan syairnya,

"Kutinggalkan tempat tidurku pada suatu hari, kemudian kutersekap diam membisu.

 Aku telah berpindah dari satu tempat menuju tempat lain.
 Aku berangkat pergi dari ranjang tidur dalam istanaku menuju alam lain.
Apa gerangan yang mendatangiku saat tidur?"

itulah peristiwa yang menempatkan manusia pada liang lahat. Sendiri dicekam sunyi. Tak ada istri, anak, atau sahabat karib. Yang ada hanya amal. (kisah ini diambil dr buku "Malam pertama di alam kubur - Dr. A'idh Al-Qarni, M.A.)



To be continue..... Malam Pertama Di Alam Kubur II
readmore »»  

Minggu, 03 November 2013

Kisah Bint Khalid (Ummu Khalid) Pemilik Busana Khamishah

Suatu hari, Nabi mendapat kiriman setumpuk pakaian. Satu diantaranya model Khamishah.[1] Warnanya hitam dengan aksesoris warna kuning atau hijau. Dan ukurannya untuk anak-anak. Nabi bingung menentukan siapakah yang akan mendapatkan model itu, sebab banyak anak-anak di sekitar Nabi. Beliau kemudian bertanya kepada para sahabat, siapakh yang pantas mengenakan baju itu. Semua bergeming. Tak ada yang mengusulkan nama karena khawatir tidak cocok dengan kecenderungan Nabi.
Kemudian Nabi teingat anak-anak sahabat-sahabat terdekat beliau, terutama Khalid ibn Sa’id, orang kelima atau keenam ang memeluk islam, karenya banyak mendapat siksaan dari orang-orang uraisy, bahkan dari ayahnya sendiri, dan tepaksa ikut behijrah ke Habsyah. Sahabat  seperti Khalid tidak akan dilupakan Nabi. Beliau ingat Khalid mempunyai putrid kecil bernama Amah, tetapi oleh keluarganya dijuuki Ummu Khalid, sebagai ungkapan cinta mereka padanya. Sampai kemudian ia dikenal  dengan julukan itu, meski masih kecil. Ia lahir di Habsyah, dan menghabiskan tahun-tahun pertamanya di sana. Barangkali ia sudah belajar sedikit bahasa Habsyah.
“Coba bawa kemari Ummu Khalid!” kata Rasulullah.
Seseorang segera ke rumah Ummu Khalid, lalu mengambil khamisah dan memakaikan kepada Ummu Khalid. Beliau tampak sangat senang. “Pakai sampai usang, Ummu Khalid. Pakai sampai usang!” Ummu Khalid sangat senang diperlakukan begitu oleh Rasulullah. “Wah, bagus sekali, Ummu Khalid!” kata Rasulullah sambil menunjuk hiasan yang ada di khamisah. Beliau berbicara dengan Ummu Khalid menggunakan bahasa Habsyah. Beliau merangkulnya, sampai Ummu Khalid dapat melihat secara jelas tanda kenabian di punggung beliau. Ummu Khalid memandanginya, bahkan memainkannya. Ayahnya kaget. Ia berusaha melarang. Tak semestinya anak tersebut bermain-bermain dengan tanda itu. Tetapi, “Biarkan saja!” kata Nabi. Beliau ingin memuliakan Khalid dengan membiarkan Ummu Khalid bermain-main dengan sesuatu yang menyenangkan.[2]

Kisah ini diambil dari "Sahabat-sahabat Cilik Rasulullah"





[1] Kain hitam yang kedua tepinya berhias bordiran sutra atau wol
[2] Thabaat Ibn Sa’d, 8/234
readmore »»  

Sabtu, 02 November 2013

Kisah Laila Al-Ghifariyah (Pejuang Cilik Pemilik Kalung)

Saat melewati kabilah Ghifar menuju Khaibar di utara Madinah, Nabi dan pasukan disambut kaum wanita dari anak-anak hinggar orang tua. Mereka berdesak-desakan mengikuti prajurit untuk menawarkan bantuan, barangkali ada yang membutuhkan air, amkanan atau bahkan pengobatan.
Diantara wanita-wanita itu terdapat anak perempuan yang baru menginjak remaja. Namanya Laila. cerdas dan penuh semangat. Membuat Nabi takjub, dan kasihan karena ia masih kecil dan bejalan kaki. Beliau kemudian menaikkannya ke unta beliau.
Nabi berhenti dan menderumkan unta. Lailaikut turun. Tahu-tahu ada darah di pelana yang diduduki gadis itu. Laila sangat malu. Ia kembali menaiki unta itu untuk menutupi darah haidnya yang pertama itu agar tak telihat Nabi.
"Ada apa denganmu? kamu haid?" tanya beliau lembut.
Laila tertunduk dan salah tingkah. Sambil malu-malu ia menjawab, "Ya."
Nabi tidak risih dan tidak gusar.
"Bersihkan dirimu, ambil air satu bejana, bei garam, lalu bersihkan pelana yang terkena darah. Setelah itu kembalilah ke tempat dudukmu semula," kata Nabi.
Nabi tetap bersikap tenang, membiarkan Laila bersama beliau untuk membuktikan bahwa ia istimewa diantara kaum wanita.

Nabi berhasil menundukkan Khaibar dan pulang dengan membawa sejumlah harta ganimah, dan memberikan sebagiannya kepada kaum wanita Ghifar. Laila mendapat seuntai kalung. Beliau sendiri yang mengalungkan ke lehernya, bukti bahwa beliau mencintai, menghormati dan meberi semangat kepada gadis itu. Bagi Laila, bukan kalung indah itu yang membuatnya bahagia, melainkan sikap beliau yang luar biasa kepadanya. Laila tak pernah melepaskan kalung agar tidak hilang. Dan setiap bersuci dari haid, ia tidak pernah lupa mencampur air bersuci itu dengan garam.

Laila terus tumbuh dewasa. Ia mengabdi kepada Islam dengan kemampuan yang bisa ia berikan. Ketika dalam keadaan sekarat, ia berwasiat agar setelah meningal ia dimandikan dengan air campuran garam, dan kalung pemberian Nabi itu dikuburkan bersamanya.[1]

Kisah ini diambil dari "SAhabat-sahabat cilik Rasulullah" 


Yuk intip koleksi mukena kami yang kece-kece Disini




[1] Sirah Ibn Hisyam dalam uraian tentang peristiwa perang Khaibar
readmore »»  

Kisah Rafi' Ibn Amr (Pemuda Kurma)

Pemduduk Madinah sangat menyukai kurma. Mereka akan menjaga dan merawat sampai masa panen. Mereka tidak akan tenang sampai kurma-kurma tersebut laku tejual, dan mereka dapat menikmati hasil jerih payah  mereka.
para petani pernah dibuat resah oleh ulah orangyang merusak kurma-kurma mereka. mereka tidak tahu siapa pelakunya. mereka kemudian menyelidiki. Seluruh sisi kebun disisir, dan behasil. Terlihat anak kecil yang tampak sehat dan kuat. Ia melempari tandan dengan batu hingga kurma bejatuhan, lalu memakannya.
Tapi akhirnya mereka justru kasihan kepada anak kecil itu. Mereka kemudian mengadukan anak itu kepada Rasulullah.
Rasulullah segera menuju ke tempat anak itu berada.Para pemilik kebun mengikuti. Mereka penasaran siapa anak itu. Beliau mendekati anak itu dan mengajaknya bicara.
"Kenapa kau melempari kurma itu?" tanya Nabi
"aku ingin makan," Jawabnya.
Beliau menasehatinya dengan lembut jika Allah tidak menyukai orang-orang yang melakukan perusakan. Beliau tahu betapa anak itu menginginkan kurma itu karena lapar yang tak tetahankan. Namun, beliau tetap mengingatkan, "Jangan melempari kurma. Tapi kau boleh mengambil yang sudah jatuh (bukan karena dilempar)."
Nabi kemudian mengusap kepala anak itu dengan lembut, lalu mendo'akannya, "Ya Allah, jadikan perutnya kenyang!."[1]
Anak kecil itu bernama Rafi' Ibn Amr yang kelak akan ikut serta dalam berbagai misi penaklukan. Akhirnya ia menetap di Basrah.
Rafi' Ibn Amr meriwayatkan hadis "Sepeninggalku akan muncul kaum yang membaca Al-Qur'an hanya sampai tenggorokan mereka. Mereka keluar dari agama seperti anak panah lepas dari busurnya."[2]

Kisah ini diambil dari "Sahabat-sahabat kecil Rasulullah" yang ditulis oleh Dr. Nizar Abazhah




[1] HR. Tirmidzi, 128, Ibn Majah, 2299, dan Abu Dawud, 2622
[2] Asad al-Ghabah, Biografi nomor 1590.
readmore »»  

Senin, 05 Agustus 2013

Kisah Abu Umair (Si Pemilik Burung Pipit)

Orang yang mendengar nama Abu Umair mungkin mengira jika ia seorang pemuda. Padahal ia anak kecil yang masih tergantung kepada kedua orangtuanya, Ummu Sulaim dan Abu Thalhah. Ummu Sulaim dan Abu Thalhah adalah pembesar sahabat yang dekat dengan Rasulullah.
Abu Umair tak berbeda dengan anak-anak pada umumnya. Ia senang bermain di jalan-jalan Madinah bersama anak-anak lain, belum memahami kondisi umat Islam yang saat itu sedang gelisah. Ibunya juga tidak memperkenalkannya dengan berbagai persoalan. Sang ibu hanya berfokus mendidik Abu Umair sesuai dunianya.
Suatu hari, Abu Umair berjalan-jalan menyusuri kebun-kebun Madinah bersama teman-temannya, melintasi pepohonan kurma, berjalan-jalan di pasar. Tiba-tiba ia meihat anak burung pipit mungil dengan paruh merah dan sayap warna-warni sedang meloncat-loncat di rerumputan. Abu Umair langsung menangkap anak burung itu, Ia  mengikat kaki anak burung itu dengan seutas benang agar tidak kabur. Abu Umair pulang dengan gembira karena memiliki sesuatu tidak dimiliki anak-anak lainnya.
Kini, Abu Umair menghabskan waktunya dengan bermain-main dengan burung cantik itu. Ia nikmati kicauannya yang merdu. Ia pandangi tanpa jemu bulu-bulunya yang indah, memberinya makan dan minum, serta merawatnya. Ibunya, Ummu Sulaim, tak mengusiknya. Ia membiarkan si anak mengurus burung kesayangannya. Ia bahagia melihat anaknya bahagia.
Suatu pagi, Abu Umair menjumpai burung itu sudah tak bergerak. Kaku dan kering. Ia menggerak-gerakkan. Ia piker burung itu tertidur. Abu Umair berteriak memanggil ibunya. Setelah diperiksa, sang ibu tahu jika burung itu sudah mati. Betapa terkejutnya Abu Umair. Ia menangis. Duduk bergeming dengan wajah murung. Diam saja ketika ibunya mengajak bicara.
Saat itu Rasulullah melintas. Beliau memandangi Abu Umair yang murung. “Ada apa dengannya?”
“Burungnya mati”.
Nabi tersenyum, lalu mendekati Abu Umair, dan menenangkannya.
“Hei Abu Umair, ada apa dengan burung pipit itu?”
Abu Umair terhibur dengan kedatangan Nabi. Kesedihannya mereda. Namun, beberapa hari kemudian ia demam. Tubuhnya lemah. Abu Thalhah resah melihat kondisi anaknya itu. Ia khawatir terjadi sesuatu yang buruk terhadap anaknya itu. Tak putus-putusnya ia berdo’a agar Allah menyembuhkannya seperti sedia kala.
Suatu hari Abu thalhah berangkat kerja. Sorenya ia pulang. Ummu sulaim menyambutnya dengan wajah cerah. Ia tampak lebih cantik dengan hiasan yang ia pakai dan baju baru yang ia kenakan. Ia bersolek. Rambutnya disisir rapi. Abu Thalhah menanyakan Abu Umair.”Sekarang ia sudah tenang”, jawab Ummu Sulaim.
Lalu, cepat-cepat Ummu Sulaim mengambilkan baju bersih untuk suaminya. Hari itu begitu istimewa. Ia sengaja memasak makanan kesukaan suami tercinta. Diajaknya sang suami makan terlebih dahulu, dan dimintanya supaya jangan ribut agar tidak mengganggu ketenangan si kecil.
Alangkah nikmat Abu Thalhah menyantap hidangan malam itu. Belum pernah ia merasa makan enak seperti saat ini sejak anaknya sakit. Akhirnya, sepasang suami istri itu tidur lelap setelah menghabiskan waktu malam yang indah itu, mereka bangun setelah mendengar azan shubuh.
Usai mengerjakan shalat, Ummu Sulaim berkata kepada suaminya, “semoga Allah memberimu pahala berlimpah menyangkut Abu Umair. Allah telah memilihnya untuk kembali ke pangkuan-Nya”.
Abu Thalhah terpana, bingung tak tahu harus berbuat apa. Ia tak habis pikir sekaligus takjub kepada istrinya yang tidak ingin melihat suaminya menghabiskan malamnya dengan sedih. Semalaman istrinya memendam kesedihan di balik wajahnya yang cerah. Namun, hal itu membuat Abu Thalhah marah. Ia kemudian menemui Nabi, mengadukan sikap istrinya itu. Tanpa Abu Thalhah duga, Rsulullah justru berkata, “Allah benar-benar memberkahi malam kalian berdua”.
Tak lama kemudian Ummu Sulaim hamil. Allah hendakmemberi mereka pengganti Abu Umair yang namanya tercatat dalam lembaran sejarah bersama burung pipit kesayangannya.[1]
Setelah melahirkan Ummu Sulaim membawa anaknya beserta Anas anaknya yang lain kepada Rasulullah untuk disuapi kurma kunyahan beliau, lalu dido’akan.

Kisah ini diambil dari buku Sahabat-sahabat Cilik Rasululah karya Dr. Nizar Abazhah




[1] Al-isti’ab



Yuk intip koleksi mukena kami yang kece-kece Disini
readmore »»  

Minggu, 21 Juli 2013

Kisah Amah Bint Khalid (Ummu Khalid)

(Pemilik busana khamishah)

Suatu hari Nabi mendapat kiriman setumpuk pakaian. Satu diantaranya model khamishah (kain hitam yang kedua tepinya berhias bordiran sutra atau wol). Warnanya hitam dengan aksesoris warna kuning atau hijau. Dan ukurannya untuk anak-anak. Nabi bingung menentukan siapakah yang akan mendapatkan model itu, sebab banyak anak-anak di sekitar Nabi. Beliau kemudian bertanya kepada para sahabat, siapakah yang pantas mengenakan baju itu. Semua bergeming. Tak ada yang mengusulkan nama karena khawatir tidak cocok dengan kecenderungan Nabi.
Nabi kemudian teringat anak-anak sahabat-sahabat dekat beliau, terutama Khalid ibn Sa’id,orang kelima atau keenam yang memeluk islam, karenanya mendapat banayak siksaan dari orang-orang Quraisy, bahkan dari ayahnya sendiri, dan terpaksa ikut berhijrah ke Habsyah. Sahabat seperti Khalid tidak akan dilupakan Nabi. Beliau ingat Khalid mempunyai putrid kecil bernama Amah, tetapi oleh keluarganya dijuluki Ummu Khalid, sebagai ungkapan cinta mereka kepadanya. Sampai ia kemudian dikenal dengan julukan itu, meski masih seorang anak kecil. Ia lahir di Habsyah, dan menghabiskan tahun-tahun pertamanya di sana. Barangkali ia sudah belajar sedikit bahasa Habsyah.
“Coba bawa kemari Ummu Khalid!” kata Rasulullah.
Seseorang segera ke rumah Ummu Khalid dan menyampaikan kabar gembira bahwa Rasulullah memanggilnya. Itu anugerah besar. Sang ibu segera memakaikan baju kuning terbaik Ummu Khalid sehingga anaknya itu tampak cantik. Sang ayah kemudian membawanya kepada Rasulullah.
Rasulullah mencandai Ummu Khalid, lalu mengambil khamishah dan memakaikanyya kepada Ummu Khalid. Beliau tampak sangat senang. “Pakai sampai usang Ummu Khalid. Pakai sampai usang!” Ummu Khalid sangat senang diperlakukan begitu oleh Rasulullah. “Wah bagus sekali, Ummu Khalid!” kata Rasulullah sambilmenunjuk hiasan yang ada di khamishah. Beliau berbicara dengan Ummu Khalid menggunakan bahasa Habsyah. Beliau merangkulnya, sampai Ummu Khalid dapat melihatnya secara jelas tanda kenabian di punggung beliau. Ummu Khalid memandanginya bahkan memainkannya. Ayahnya kaget. Ia berusaha melarang. Tak semestinya anaknya tersebut bermain-main dengan tanda itu. Tetapi, “Biarkan saja!” Nabi. Beliau ingin memuliakan Ummu Khalid bermain-main dengan sesuatu yang menyenangkannya.[1]




[1] Dr. Nizar abazhah, Sahabat-sahabat Cilik Rasulullah, 2011,(Jakarta:Zaman).154
readmore »»  

Kisah Abdullah Ibn Umar (Pakar tata cara haji)


Abdullah ibn Umar termasuk salah seorang anak kesayangan Nabi. Lahir di Makkah. Tumbuh menjadi anak yang cerdas dan memiliki sikap hati-hati. Sudah memeluk Islam sebelum balig. Turut berhijrah ke Madinah bersama sang ayah, Umar ibn Khattab. Akhlaknya adalah pancaran cahaya kenabian.
Nabi melarangnya bergabung dalam pasukan perang Badar karena dinilai masih kecil. Demikian juga dengan perang Uhud. Ia baru diizinkan menjadi tentara ketika terjadiperang Khandaq. Ia bersama Aus ibn Arabah, dan Rafi’ ibn Khudaij berada dalam satu pasukan.
Pada usianya yang masih belia, Abdullah ibn Umar sudah berabung dalam majelis Rasulullah. Ia sudah mampu memahami sabda-sabda beliau. Dalam suatu majelis, Rasulullah melontarkan pertanyaan kepada mereka, “Diantara banyak pohon ada satu yang daunnya tak jatuh.ia adalah seorang muslim. Pohon apa itu?”
Semua yang ada hadir di situ berpikir. Satu sama lain saling bertanya. Merekamenyebutkan setiap nama pohon yang tumbuh di gururn pasir, tetapi tak satu pun yang benar. sampai akhirnya mereka meneyerah. “Wahai Rasulullah, katakana saja kepada kami pohon apa itu?”
“Pohon kurma”, jawab beliau. “Pohon itu selalu hijau, buahnya manis, batangnya tegap, dan akarnya kokoh.”
Sebetulnya, dalam hati, Abdullah ibn Umaringin menjawab itu, tetapi ia ragu. Lagipula ia segan menjawabnya di tengah para pembesar sahabat. Ia berbisik kepada ayahnya bahwa dalam hati ia sebenarnya menjawab seperti itu.
Umar bahagia mendengar bisikan anaknya itu. Tetapi ia menyayangkan kenapa Abdullah tidak mengatakannya, sehingga Rasulullah akan mendo’akannya. “Aku lebih senang seandainya kau mengatakannya langsung kepada Rasulullah,” kata Umar.[1]
Nabi tahu jika Abdullah ibn Umar berbakat menjadi ulama. Beliau membanggakannya. Dialah putra Umar ibn Al-Khattab, salah seorang sahabat dan menteri beliau, dan dia juga saudara Hafshah, salah satu istri beliau. Nabi mengerahkan perkembangan Ibn Umar secara khusus. Beliau berbicara kepadanya sebagaimana beliau dapat membawa kebaikan bagi dirinya maupun umat. Ibnu Umar pernah mengatakan, “Rasulullah memegang pundakku sambil sedikit menggerak-gerakkan, seolah meminta agar aku memperhatikan. Lalu beliau berkata, “Wahai Abdullah, jadilah seolah orang asing atau seorang musafir di dunia ini. Dan anggaplah dirimu sebagai ahli kubur.”[2]
Abdullah ingat betulpesan Nabi itu, menyampaikannya kepada orang lain dan mengamalkannya, meski sebenarnya ia masih di bawah umur.
Nabi memberi kesaksian kesalehan Ibn Umar setelah ia sedikit lebih besar, pada masa akhir kanak-kananknya. Beliau berkata kepada Hafshah, “Saudaramu itu, Abdullah, laki-laki saleh. Andai saja ia mau bangun malam …..”[3]
 Kata-kata itu sampai ke telinga Ibn Umar. Iapun kemudian bertekad untuk melaksanakan shalat tahajud secara istiqamah. Dan, itulah yang terjadi hingga akhir hayatnya.
Banyak yang mengatakan bahwa Abdullah ibn Umar adalah pakar tata cara haji. Ia meriwayatkan sebanyak 2.630 hadis Rasulullah. Ia seorang pemberanni dan bersuara lantang. Selama enam puluh tahun, ia dikenal sebagai mufti terdepan dalam islam, bahkan sejak ia masih kecil.
Abdullah ibn Umar hidup sampai pada satu masa yang tak ada duanya. Ia meninggal di Makkah, dan menjadi sahabat terkhir yang meninggal di sana.
      Kisah di atas diambil dari buku yang berjudul sahabat-sahabat cilik Rasulullah yang ditulis oleh Dr. Nizar Abazhah. dalam buku tersebut digambarkan bagaimana Rasulullah saw. hidup dan bergaul dengan anak-anak. 




[1] HR. Bukhari , 61, Muslim, 2811.
[2] HR Bukhari dalam bab “al-Raqaiq”, dan Tirmidzi, 2334.
[3] HR Bukhari dan Muslim.
readmore »»  

Kisah Para Pengkhatam Al-Qur’an dalam Satu Malam

( Sudahkah kita membaca Al-Qur’an hari ini?)

Hendaklah dia memelihara bacaan Al-Qur’an dan memperbanyak bacaannya. Menurut Imam Nawawi dalam kitab At-Tibyaan fii Aadaabi Hamalatil Qur’an Ulama salaf mempunyai kebiasaan-kebiasaan yang berlainan tentang tempo dan jangka masa mengkhatamkan Al-Qur’an. Ibnu Abi Dawud meriwayatkan dari sebagian ulama Salaf bahwa mereka mengkhatamkan Al-Qur’an sekali dalam setiap dua bulan, manakala setengah dari mereka mengkhatamkan Al-Qur’an dalam setiap bulan
Setengah dari mereka mengkhatamkannya sekali dalam sepuluh malam dan setengahnya mengkhatamkan sekali dalam setiap delapan malam. Banayk dari mereka mengkhatamkan dalam setiap tujuh malam. Setengahnya mengkhatamkannya dalam setiap enam malam. Dan ada pula dari mereka mengkhatamkannya dalam setiap lima malam.
Sedangkan setengah dari mereka ada yang mengkhatamkannya dalam setiap empat malam, setiap tiga malam atau setiap dua malam. Bahkan setengah dari mereka mengkhatamkannya sekali dalam sehari semalam.
Diantara mereka ada yang mengkhatamkannya dua kali dalam sehari semalam dan ada yang tiga kali. Bahkan setengah dari mereka mengkhatamkannya delapan kali, yaitu empat kali pada waktu malam dan empat kali pada waktu siang.
Diantara orang-orang yang mengkhatamkan Al-Qur’an sekali dalam sehari semalam adalah Usman bin Affan ra,Tamim Ad-Daariy, Said bin Jubair, Mujahid, Asy-syafi’i dan lainnya.
Diantara orang –orang yang mengkhatamkan tiga kali dalam sehari semalam adalah Sali bin Umar ra Qadhi Mesir pada masa pemerintahan Mu’awiyyah.
Diriwayatkan bahwa Abu Bakr bin Abi Dawud ra mengkhatamkan Al-Qur’an tiga kali dalam semalam
Diriwayatkan oleh Abu Bakar Al-Kindi dalam kitabnya berkenaan dengan Qadhi Mesir  bahwa dia mengkhatamkan Al-Qur’an empat kali dalam semalam.
Asy-Syeikh Ash-Shahih Abu Abdurrahman As-Salami ra berkata:
“Aku mendengar Asy-Syeikh Abu Usman Al-Maghribi berkata, ‘Ibnu Khatib ra mengkhatamkan Al-Qur’an empat kali pada waktu siang dan empat kali pada waktu malam.”
Ini adalah jumlah terbanyak yang saya ketahui dalam sehari semalam.
Diriwayatkan oleh As-Sayyid, Ahmad Ad-Dauraqi dengan isnadnya dari Manshur bin Zaadzan ra, seorang tabi’in ahli ibadah bahwa dia mengkhatamkan Al-Qur’an diantara waktu Zuhur dan Ashar, kemudian mengkhatamkannya pula antara antara maghrib dan Isya’ pada bulan Ramadhan dua kali. Mereka mengakhirkan sembahyang Isya’ pada bulan Ramadhan hingga berlalu seperempat malam.
Diriwayatkan dari Manshur, katanya: ”Ali Al-Azadi mengkhatamkan Al-Qur’an diantara maghrib dan Isya’ setiap malam pada bulan Ramadhan “.
Diriwayatkan dari Ibrahim bin Said, katanya: “Ayahku duduk sambil melilitkan serbannya pada badan dan kedua kakinya dan tidak melepaskannya hingga mengkhatamkan Al-Qur’an”.
Sedangkan orang yang mengkhatamkannya dalam satu rakaat banyak sekali hingga tak terhitung jumlahnya. Diantara orang-orang yang terdahulu ialah Usman bin Affan, Tamim Ad-Daariy dan Said bin Jubair ra yang mengkhatamkan dalam setiap rakaat di Ka’bah.
Manakala yang mengkhatamkan Al-Qur’an sekali dalam seminggu diantara mereka adalah Usman bin Affan ra, Abdullah bin Mas’ud, Zaid bin Tsabit dan Ubai bin Ka’ab ra dan dari tabi’in antara lain Abdurrahman bin Zaid, Alqamah dan Ibrahin rahimahullah. Hal itu berbeda menurut orang-orangnya.
Barangsiapa yang ingin mereningkan dan mempelajari dengn cermat, hendaklah dia membatasi diri pada kadar yang menimbulkan pemahaman yang sempurna atas apa yang dibacanya. Demikian jugalah siapa yang sibuk menyiarkan ilmu atau tugas-tugas agama lainnyadan kemaslahatan kaum muslimin yang bersifat umum, hendaklan dia membatasi pada kadar tertentu sehingga tidak mengganggu apa yang wajib dilakukannya.

Jika kita belunm termasuk ke peringat yang dicapai orang-orang yang tersebut ini, maka bolehlah kita memperbanyak membaca Al-Qur’an sedapat mungkin tanpa menimbulkan kejemuan dan tidak terlalu cepat membacanya.
readmore »»